Renungkan.

Hari ini, taruh pikiranmu dalam kepala seorang ibu. Jalani hidupnya sebentar. Mungkin nanti kamu mengerti.

Beberapa hari lagi anaknya lahir. Dia bingung, bimbang. Apakah dia akan jadi ibu yg baik? Akan mirip siapa anaknya? Bagaimana kalau dia tidak sanggup jadi orangtua yg sempurna? Akan lahir normalkah anak ini? Akan pintarkah dia?

Hari ini anaknya lahir, dan dia sadar bahwa dia tidak perduli bagaimana bentuk fisik dan psikisnya. Yg terpenting adalah, sekarang dia betul-betul jadi ibu. Benda kecil yg ditimangnya itu datang dari dalam tubuhnya sendiri. Makan makanannya, minum minumannya, berbagi jiwa dengannya. Satu ruang dalam hidupnya terisi. Dia bahagia.

Dia lelah. Ternyata mengurus anak itu tidak seperti punya binatang peliharaan atau main ibu-ibuan. Ternyata anak ini harus diberi makan tepat waktu, kalau tidak teriakannya tidak main-main. Anak itu menangisnya tidak tahu waktu, tidak tahu malu, dan tidak tahu kalau orang sedang tidur dan sekarang jam 3 pagi. Tapi dia tahu dia harus bangun. Jadi dia paksa buka matanya dan menyeret diri ke sisi anaknya, memberi dia makan. Walaupun dia baru terbangun satu jam yg lalu dan harus bangun lagi dalam dua jam.

Dia bahagia. Anaknya sudah melakukan beribu hal pertama. Pertama kali berjalan, pertama kali bangun sendiri dari duduk, kata pertama, senyum pertama... untuk semuanya dia berusaha ada disana. Dia mau jadi yg pertama melihat semuanya, karena dia tahu kalau semua yg pertama hanya datang sekali. Betapa bangganya dia, walaupun kata pertama anaknya bukan "mama".

Dia kuatir. Ini hari pertama anaknya masuk TK. Dia tidak akan tahu apa yg dilakukan anaknya selama 3 jam mereka berpisah, dan tidak boleh juga dia tinggal duduk disana untuk mengamati. Dia harus melepas anaknya pergi tanpa diawasi, dan harus mempercayakan anaknya dalam asuhan guru-gurunya. Ah... seandainya dia bisa berdiri disana, menjaga anaknya. Tapi dia tahu, ini tahap pertama dalam ribuan perpisahan lainnya. Ini baru awal, dan 3 jam lagi dia anaknya akan kembali kerumah. Jadi dia kuatkan diri, peluk anaknya, cium kedua pipi, dan memaksa diri melangkah pergi.

Begitu cepat waktu berlalu. Anaknya sudah punya banyak teman. Sudah mulai malu terlihat jalan dengan ibunya. Dia sudah mulai tenang, tahu bahwa anaknya mampu berkawan, tapi ada sedikit sakit bila tahu kalau anaknya malu bila disebut "anak mama". Tapi dia tidak akan pernah beri tahu siapapun itu.

Anaknya sudah mulai pacaran. Dia kembali kuatir. Bagaimana kalau pacarnya bukan anak baik-baik? Bagaimana kalau nanti hati anaknya disakiti? Bagaimana kalau anaknya terlibat hal-hal yg sering dia lihat jadi judul sinetron? Kawin muda-lah, Pernikahan dini-lah, semakin dia takut malah semakin trendi di TV. Anaknya terlihat enggan untuk mengenalkan pacarnya padanya. Apa karena pacarnya anak nakal? Seperti apa orangtuanya? Hubungan mereka... sudah sampai dimana? Kenapa anaknya tidak suka berbagi dengannya, memberi tahu tentang pacarnya? Dia takut anaknya akan dibawa pergi, tapi dia gelengkan kepala, katakan pada diri sendiri bahwa anaknya mulai belajar mandiri. Ini seperti hari pertama di TK, sekali lagi.

Anaknya sudah sangat jarang ada dirumah karena tiap hari pasti pergi dengan pacarnya berdua saja, jadi seharusnya dia sudah terbiasa dengan tidak adanya anaknya dirumah. Tapi setiap hari rasanya sepi. Kemana anaknya pergi? Kenapa tidak mau menghabiskan waktu dengan ibunya? Setiap kali ada satu hari saja anaknya dirumah dan tidak pergi, serasa seperti surga, karena datangnya sangat jarang. Dia berusaha supaya anaknya menghabiskan waktu dengannya. Mengobrol, menonton, apapun asal berdua. Tapi anaknya malah sibuk dengan hal-hal lain yg... yah... menurutnya lebih penting. Atau menelepon pacarnya dan ngobrol berlama-lama. Dia kesal, dan akhirnya memarahi anaknya. Anaknya balik marah, dan menuduh dia seperti tidak tahu rasanya jadi orang muda. Bukan itu yg dia mau. Bukan itu maksudnya. Dia tidak ingin marah. Dia hanya rindu.

Hari ini seharusnya hari bahagia. Anaknya memutuskan untuk menikah dengan pacarnya. Tapi dia sedih, karena ini betul-betul selamat tinggal. Ia senang karena anaknya sudah bisa mandiri, sudah mampu hidup sendiri dan menghidupi pasangannya. Ia bahagia karena ia ternyata bukan ibu yg buruk, walaupun tidak sempurna. Ia senang karena anaknya sudah dewasa. Tapi ia sengsara, karena mulai hari ini, anaknya tidak butuh dia lagi.



Seconds before you die, your whole life flashes before your eyes. Every single day, everytime your mother sees you and how you've grown, you whole life flashes before her eyes. Ever thought of that?

Comments

Popular posts from this blog

Uncertain

Dreams.

Ujan ayam, cu...